Lulus
SD, Apih memasukkanku dan kedua kakakku ke sebuah pesantren modern di
Balaraja, Tangerang. Beliau ingin kami mendalami pelajaran agama.
Rupanya tidak semua keinginannya bersambut, semua ini karena
kenakalanku.
Orang bilang, anak
tengah biasanya agak nakal. Aku tidak tahu ungkapan itu benar atau
tidak. Yang jelas hal itu berlaku padaku. Sebagai anak tengah, aku
sering membuat orang tua kesal. Di pesantren, aku sering berulah.
Salah
satu kenalakanku, di saat yang lain salat, aku diam-diam tidur.
Kenakalan lain, kabur dari pesantren untuk main atau nonton di bioskop
adalah hal biasa. Sebagai hukumannya, kepalaku sering dibotaki. Tapi,
tetap saja aku tak jera.
Tampaknya
aku seperti punya kepribadian ganda, ya. Di satu sisi aku nakal, di
sisi lain keinginan untuk melantunkan ayat-ayat suci begitu kuat. Tiap
ada kegiatan keagamaan, aku selalu terlibat. Bersama kedua kakakku, aku
juga pernah membuat drama tanpa naskah berjudul Kembali Ke Jalan Allah
yang diperlombakan di pesantren. Ternyata karya kami itu dinilai sebagai
drama terbaik se-pesantren.
Bahkan,
aku juga juara lomba azan, lomba MTQ, dan qasidah. Akan tetapi, entah
kenapa, aku juga tak pernah ketinggalan dalam kenakalan. Tinggal dalam
lingkungan pesantren, kelakuan burukku bukannya berkurang, malah makin
menjadi. Puncaknya, aku sudah bosan bersekolah di pesantren.
Akhirnya,
hanya empat tahun aku di pesantren. Dua tahun sebelum menamatkan
pelajaran, aku keluar. Lalu, Apih memasukkanku ke sekolah aliyah
(setingkat SMA, Red.). Rupanya keluar dari pesantren tidak membuatku
lebih baik. Aku yang mulai beranjak remaja justru jadi makin nakal.
KENAL DUNIA MALAM
Memang,
sih, tiap ada acara keagamaan aku tak pernah ketinggalan. Namun, aku
juga selalu mau bila ada teman mengajak ke kantin sekolah. Bukan untuk
jajan, tapi memakai narkoba! Aku juga sering kabur dan pergi tanpa
tujuan yang jelas. Ya, aku seperti burung lepas dari sangkar, terbang
tak terkendali.
Masa SMA memang
suram bagiku. Masa yang tak pernah lengkap. Maksudnya, aku tak punya
teman sebaya. Kenapa? Ya, meski usiaku masih 15 tahun, aku bergaul
dengan pemuda berusia 20 tahunan. Pacaran pun dengan yang lebih tua. Di
sekolah ini aku hanya bertahan setahun. Pindah ke SMA lain, keseharianku
tak jauh berbeda. Malah makin parah.
Dari
perkenalan dengan beberapa teman, aku mengenal petualangan baru. Umur
16 tahun, aku mulai kenal dunia malam. Aku masuk sekolah hanya saat
ujian. Buatku, yang penting lulus. Aku lebih suka mendatangi diskotek
untuk menari. Terus terang, aku memang tertarik pada tarian di diskotek.
Tiap ke sana, diam-diam aku selalu mempelajari gerakan orang-orang yang
nge-dance. Lalu kutirukan.
Aku
jadi seorang penari, bertualang dari satu diskotek ke diskotek lain,
tenggelam dalam dunia malam. Saat ada lomba dance, aku mencoba ikut.
Usahaku tak sia-sia. Beberapa kali aku berhasil memboyong piala ke rumah
sebagai the best dancer. Selain itu, aku juga berhasil jadi penari di
Dufan pada tahun 1990, meski hanya selama setahun. Sampai sekarang masih
banyak temanku yang jadi penari di sana.
Aku
juga pernah jadi foto model, bahkan ikut fashion show di diskotek.
Mungkin waktu itu aku merasa sangat cakep, ya. Tapi menurutku,
kegiatan-kegiatan itu masih positif, meski terkadang aku suka minum.
Dengan segala kebengalanku, tahun 1990 aku berhasil lulus SMA.
MAIN SINETRON
Aku
mengalami masa yang menurutku paling dahsyat setelah tamat SMA.
Ceritanya salah seorang teman penari, memperkenalkanku pada Aditya Gumai
yang saat itu aktif di dunia seni peran. Dari Aditya aku mengenal dunia
akting. Waktu itu, kami masih latihan menari di Taman Ismail Marzuki.
Saat latihan pindah ke Gedung Pemuda di Senayan, mulailah aku main
sinetron. Mulanya aku hanya mengamati para pemain yang sedang syuting,
sambil diam-diam belajar.
Aku
memang suka mencuri ilmu. Waktu tidur di kos salah satu temanku di dekat
kampus Institut Kesenian Jakarta, aku sering mencuri ilmu juga dari
para mahasiswa. Kalau mereka sedang kuliah atau praktik, aku sering
mengamati mereka.
Nah, ketika
para pemain sinetron sedang latihan, terkadang aku menggantikan salah
satunya. Ternyata aku ditertawakan. Karena pada dasarnya aku orang yang
enggak suka diperlakukan seperti itu, aku malah jadi terpacu. Aku makin
giat berlatih akting secara otodidak. Akhirnya, saat yang senior belum
juga dapat giliran main, aku sudah mendapat peran. Aku diajak Aditya
main sinetron. Waktu dikasting, aku berhasil mendapat peran.
Tahun
1990, aku main sinetron Pendekar Halilintar. Saat itu, sinetron masih
dipandang sebelah mata oleh bintang film. Namun, Apih mati-matian
menentangku. Kenapa? Rupanya Apih tahu persis seperti apa lingkungan
dunia film. Dulu, beliau juga pernah main film action, antara lain Macan
Terbang dan Pukulan Berantai. Dari beliaulah aku menuruni darah seni.
Ditentang
Apih tak membuat langkahku surut. Mungkin jalan hidupku memang harus
begini. Tak satu pun larangan Apih yang mampir ke otakku untuk kujadikan
bahan pikiran. Nasihat Apih tak lagi kudengarkan. Tawaran untuk main
sinetron yang berdatangan membuatku makin yakin, inilah yang kucari. Aku
tak mau menuruti keinginan orang tua karena merasa diriku benar.
Akhirnya konflik antara aku dan orang tuaku pecah.
Sebagai
bentuk perlawananku pada orang tua, aku tak pernah pulang ke rumah.
Tidur berpindah-pindah di rumah teman. Rambut juga kupanjangkan. Aku
seperti tak punya orang tua. Bahkan, tak pernah terlintas dalam benakku
bahwa suatu hari mereka akan pulang ke haribaan. Yang kupikirkan hanya
kesenangan dan egoku semata.
Pada
saat bersamaan, karierku di dunia seni peran terus melaju. Aku semakin
mendapatkan keasyikan. Setelah itu, aku mendapat peran dalam sinetron
drama Sayap Patah yang juga dibintangi Dien Novita, Ratu Tria, dan
almarhum WD Mochtar.
Aku semakin
merasa pilihanku tak salah setelah dinobatkan sebagai Pemeran Pria
Terbaik dalam Sepekan Sinetron Remaja yang diadakan TVRI tahun 1991. Aku
bangga bukan main, karena merasa menang dari orang tua. Kesombonganku
makin menjadi. Aku makin merasa inilah yang terbaik buatku, ketimbang
pilihan orangtuaku.
DI KA'BAH KUMINTA AMPUNAN ALLAH
Tawaran main sinetron berdatangan menghampiri Jeffry. Seiring dengan itu, ia makin tenggelam dalam dunianya yang kelam.
Sejak
kenal sinetron, aku makin menyukai dunia akting. Aku tak peduli meski
Apih menentangku. Namun, belakangan aku paham, di balik
etidaksetujuannya, sebetulnya orang menyimpan rasa bangga. Orang tua
cerita, mereka sedang ke Tanah Suci membawa rombongan ibadah haji saat
sinetron Sayap Patah yang kumainkan ditayangkan.
Ternyata,
mereka nonton sinetronku. Komentar mereka membanggakanku. Mereka
mengakui, ternyata aku bisa berprestasi. Setelah itu, aku mendapat
berbagai tawaran main, antara lain sinetron Sebening Kasih, Opera Tiga
Jaman, dan Kerinduan. Selain namaku makin mencuat, rezeki juga terus
mengalir.
Namun, aku malah jadi
lupa diri. Ketenaran tidak penting buatku. Yang penting menikmati hidup.
Dunia malam terus kugeluti. Kalau ke diskotek, aku tak lupa mengonsumsi
narkoba. Bahkan, untuk urusan yang satu ini, aku bisa dibilang tamak.
Biasanya, aku meminum satu pil dulu. Kalau kurasa belum “on”, kuminum
satu lagi. Begitu seterusnya.
Akhirnya,
aku jadi sangat mabuk. Pandanganku pun jadi kabur. Mau melihat arloji
di tangan saja, aku harus mendekatkannya ke wajahku, sambil
menggoyang-goyangkan kepala dan membelalakkan mata supaya bisa melihat
dengan lebih jelas. Parah, ya? Begitulah kebandelanku terus berlangsung.
KECANDUAN KIAN PARAH
Suatu
hari di tahun 1992, Apih meninggal karena sakit. Aku menyesal bukan
main karena selama ini selalu mengabaikan nasihat Apih. Menjelang
kepergiannya, aku berdiri di samping tempat tidurnya di rumah sakit
sambil menangis. Melihatku seperti itu, Apih mengatakan, laki-laki tak
boleh menangis. Laki-laki pantang keluar air mata. Bayangkan, bahkan di
saat-saat terakhirnya pun Apih tetap menunjukkan sikapnya yang penuh
kasih padaku yang durhaka ini.
Sore
itu aku dimintanya pulang ke rumah dan beliau memberiku ongkos. Aku
menurut. Begitu aku pulang, Allah mengambilnya. Aku syok berat. Saat
Apih dimakamkan, aku turun ke liang lahat dan memeluk jasadnya. Aku tak
mau beranjak meski makam akan ditutup. Aku tak mau melepas kepergiannya.
Aku menyesali perbuatanku. Selama Apih masih hidup, aku tak pernah mau
mendengarkan ucapannya.
Sejak
itu, Umi membesarkan kami berlima. Hidupku terus berjalan. Bukan ke arah
yang baik, namun aku kembali ke masa seperti dulu. Penyesalan yang
sebelumnya begitu menghantuiku karena ditinggal Apih, seolah lenyap.
Kebandelanku bahkan makin menjadi sepeninggal Apih. Kesombonganku juga
lebih besar dari sebelumnya karena merasa berprestasi dan punya uang
banyak. Tak seorang pun kudengarkan lagi nasihatnya.
Ketika
temanku menasihati, aku mencibir. Siapa dia sampai aku harus
mendengarkan ucapannya? Ucapan orang tua saja tak kugubris. Aku
tenggelam dalam duniaku sendiri dan jadi pecandu narkoba. Waktu itu, aku
beralasan karena ada masalah di rumah. Padahal, sebetulnya alasan apa
pun, termasuk broken home atau teman, tidak bisa dijadikan alasan. Diri
sendirilah alasannya, karena bagaimana pun, kita lah yang menentukan
semua yang terjadi pada diri kita.
Jadi,
tidak perlu membawa-bawa orang lain atau keadaan. Namun, kesadaran
seperti ini mana mungkin muncul pada diriku yang waktu itu sangat
arogan? Aku makin jauh dari Tuhan. Padahal, sebelah rumahku ada masjid.
Ketika orang berpuasa di bulan Ramadan pun, aku tetap melakukan
kemaksiatan. Lalu, saat Lebaran tiba dan orang-orang sibuk bertakbir,
aku malah sibuk mencari celah waktu dan tempat di mana aku bisa berbuat
maksiat.
Semua ilmu agama yang
pernah kupelajari dan kemampuan membaca Quran seperti hilang. Akal
sehatku seperti hilang. Kecanduanku pada narkoba juga makin parah,
bahkan sampai mengalami over dosis dan aku hampir mati. Kejahatan demi
kejahatan moral terus kulakukan.
NAMA DICORET
Tak
perlu aku menceritakan detail tentang kejahatan yang kulakukan. Yang
jelas, suatu hari aku merasa menderita karena ketakutan setelah
melakukan sebuah perbuatan. Aku benar-benar ketakutan! Aku jadi gampang
curiga pada siapa saja. Aku selalu berburuk sangka pada apa pun.
Kesombonganku pada uang dan prestasi lenyap digantikan ketakutan. Yang
kulakukan setiap hari adalah berdiam diri di kamar, dengan selalu
berpikiran bahwa setiap orang yang datang akan membunuhku. Aku sibuk
mengintip dari bawah pintu, siapa tahu ada orang datang untuk
membunuhku.
Telingaku jadi sangat
sensitif. Aku sering merasa mendengar ada orang sedang berjalan di atap
rumah ingin membunuhku. Aku tersiksa selama berhari-hari,
berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan. Orang-orang mengatakan, aku
sudah gila.
Pada saat bersamaan,
kecanduanku pada narkoba membuatku termasuk dalam daftar hitam dunia
sinetron. Namaku dicoret. Tak ada lagi yang mau memakaiku sebagai
pemain. Selain itu, cewek-cewek yang ada di dekatku juga menjauh. Dulu
aku termasuk playboy.
Di saat aku
sendiri, ada Umi yang selama ini sudah sangat sering kusakiti hatinya.
Umi tetap menyayangiku dengan cintanya yang besar. Seburuk apa pun orang
berkomentar tentang aku, hati Umi tetap baik dan sabar. Air matanya tak
pernah kering untuk mendoakan anak-anaknya, terutama aku agar berubah
jadi lebih baik.
Doa tulus Umi
dikabulkan Allah. Sungguh luar biasa, Allah menunjukkan kebaikan-Nya
padaku. Allah memberiku kesempatan untuk bertobat. Kesadaran ini muncul
lewat suatu proses yang begitu mencekamku.
DI AJAK UMI UMRAH
Sungguh,
aku merasa sangat ketakutan ketika suatu hari bermimpi melihat jasadku
sendiri dalam kain kafan. Antara sadar dan tidak, aku terpana sambil
bertanya pada diri sendiri. Benarkah itu jasadku? Aku juga disiksa
habis-habisan. Begitulah, setiap tidur aku selalu bermimpi kejadian yang
menyeramkan. Dalam tidur, yang kudapat hanya penderitaan. Aku jadi
takut tidur. Aku takut mimpi-mimpi itu datang lagi.
Aku
juga jadi takut mati. Padahal dulu aku sempat menantang maut. Meminta
mati datang karena aku tak sanggup lagi bertahan saat ada masalah dengan
seorang cewek. Sebetulnya sepele, kan? Tapi masalah itu
kuberat-beratkan sendiri. Rasa takut mati itulah yang akhirnya membuatku
sadar bahwa ada yang tidak meninggalkanku dalam keadaan seperti ini,
yaitu Allah.
Aku teringat kembali
pada-Nya dan menyesali semua perbuatanku selama ini. Pelan-pelan,
keadaanku membaik. Kesadaran-kesadaran itu datang kembali. Aku menemui
Umi, bersimpuh meminta maaf atas semua dosa yang kulakukan. Umi memang
luar biasa. Betapa pun sudah kukecewakan demikian rupa, beliau tetap
menyayangi dan memaafkanku. Umi lalu mengajakku berumrah.
Dengan
kondisiku yang masih labil dan rapuh, kami berangkat ke Tanah Suci.
Kali ini aku berniat sembuh dan kembali ke jalan Allah. Di sana, aku
mengalami beberapa peristiwa yang membuatku sadar pada dosa-dosaku
sebelumnya. Usai salat Jumat di Madinah, Umi mengajakku ke Raudhoh. Aku
tak tahu apa itu Raudhoh, tapi kuikuti saja. Umi terus meminta ampunan
pada Allah.
Aku lalu keluar,
berjalan menuju makam Nabi Muhammad. Aku bersalawat. Begitu keluar dari
pintu masjid, rasanya seperti ada yang menarikku. Aku mencoba berjalan
sekuat tenaga, tapi tak bisa. Kekuatan itu rasanya sangat besar. Aku
lalu bersandar pada tembok. Air mataku yang dulu tak pernah keluar, kini
mengalir deras. Aku menyesali dosa-dosaku, dan berjanji tak akan
melakukan lagi semua itu.
Bagai
sebuah film yang sedang diputar, semua dosa yang pernah kulakukan
terbayang jelas di pelupuk mataku silih berganti, mulai dari yang kecil
sampai yang besar. Tiba-tiba dari mulutku keluar kalimat permintaan
ampunan pada Allah. Di Mekkah, di hadapan Kabah, aku merapatkan badan
pada dindingnya.
Aku bersandar,
menengadahkan tangan memohon ampun karena terlalu banyak dosa yang
kulakukan. Seandainya sepulang dari Tanah Suci ini melakukan dosa lagi,
aku minta pada Allah untuk mencabut saja nyawaku. Namun, seandainya
punya manfaat untuk orang lain, aku minta disembuhkan. Aku yang dulu
angkuh, sekarang tak berdaya. Setelah pulang beribadah, aku membaik. Aku
mencoba bertahan dalam kondisi bertobat itu, tapi ternyata sulit luar
biasa.
BIDADARI CANTIK JADI PEMBANGKIT HIDUP
Setelah
berkali-kali jatuh-bangun, akhirnya Jeffry kembali dekat pada agama.
Kasih sayang kekasih yang akhirnya menjadi istri ikut menjadi pembangkit
semangatnya. Perjuangannya menjadi ustaz cukup berat sampai akhirnya ia
sukses jadi penceramah. Sepulang umrah, aku mencoba hidup lurus. Namun,
lagi-lagi aku tergoda. Suatu malam, aku dan teman-teman berencana
nonton jazz di Ancol. Aku memperingatkan mereka untuk tidak bawa
narkoba, karena
kami sudah sepakat untuk berhenti
memakai. Ternyata, salah satu temanku masih saja membawa cimeng.
Apesnya, kami dirazia polisi di depan Hailai.
Teman-temanku
yang lain kabur. Tinggallah aku, temanku yang membawa cimeng, dan satu
teman lain. Aku sulit kabur karena mobil yang kami pakai adalah mobilku.
Akhirnya kami bertiga dibawa ke kantor polisi dan ditahan. Aku dilepas
karena tak terbukti membawa. Kucoba telepon Umi untuk menjelaskan
masalah ini, tapi Umi tak mau menerima teleponku.
Si
penerima telepon malah diminta Umi untuk mengatakan, beliau tak anak
bernama Jeffry. Hatiku tercabik-cabik. Pedih rasanya tak diakui sebagai
anak oleh Umi. Kuakui, pastilah hati Umi sudah sedemikian sakitnya.
Bayangkan, aku yang sebelumnya sudah mengaku bertobat, malah kembali
memilih jalan yang salah. Meski aku sudah bersumpah demi Tuhan tidak
memakai narkoba lagi, Umi tak percaya lagi. Itulah puncak kemarahan Umi
Sungguh bersyukur, Allah masih berkenan menolongku. Datang seorang gadis
cantik dalam hidupku. Ia mau menerimaku apa adanya. Sebelumnya, banyak
gadis meninggalkanku sehingga aku merasa sebatang kara dalam cinta.
Gadis bernama Pipik Dian Irawati ini seorang model sampul sebuah majalah
remaja tahun 1995, asal Semarang.
CUEK SAAT PACARAN
(Berikut
ini adalah penuturan Pipik: Aku pertama kali melihatnya sedang makan
nasi goreng di Menteng sekitar tahun 1996 – 1997. Rambutnya gondrong.
Waktu itu, aku bersama Gugun Gondrong. Setahuku, Jeffry adalah pemain
sinetron Kerinduan, karena aku mengikuti ceritanya. Aku ingin berkenalan
dengannya, tapi Gugun melarangku.
Tak
tahunya, waktu buka puasa bersama di rumah Pontjo Sutowo, aku bertemu
lagi dengannya. Rambutnya sudah dipotong pendek. Aku nekat berkenalan.
Kami mulai dekat dan saling menelepon. Aku enggak tahu kapan kami resmi
pacaran, karena enggak pernah “jadian”. Dia juga tak pernah menyatakan
cinta. Waktu pacaran, dia cuek setengah mati.
Awalnya,
semangatnya boleh juga. Pertama kami pergi bareng, dia datang ke rumah
di Kebon Jeruk, di tengah hujan deras dari rumahnya di Mangga Dua.
Jeffry naik taksi dengan memakai jins dan sepatu bot. Ia yang hanya bawa
uang Rp 50 ribu, mengajakku nonton di Mal Taman Anggrek. Di dalam
bioskop, kami seperti nonton sendiri-sendiri. Dia diam saja selama
nonton.
Sejak itu, kami sering
jalan bareng, karena kami memang hobi nonton dan makan. Semakin dekat
dengannya, aku makin tahu ternyata dia pemakai narkoba kelas berat.
Teman-temanku mulai bertanya, mengapa aku mau berpacaran dengannya. Aku
sendiri tak tahu persis alasannya. Mungkin rasa sayang yang sudah
terlanjur muncul dalam hati yang membuatku mau bertahan. Hatiku terenyuh
dan tak mau meninggalkan dia sendiri.
Tentu
saja keluargaku tak ada yang tahu, karena sengaja kusembunyikan.
Mungkin mereka baru tahu sekarang, setelah membaca kisah hidupnya di
berbagai media. Sementara itu, aku sibuk tur keluar kota sebagai model,
sehingga kami sering tak ketemu. Akhirnya kami putus. Waktu akhirnya
ketemu lagi, ternyata dia sudah punya pacar lagi. Karena masih sayang,
aku sering membawakannya hadiah dan memberi perhatian. Setelah Jeffry
putus dari pacarnya, kami kembali bersatu.)
BERJUALAN KUE
Pipik
sangat berarti buatku. Dia mengerti, peduli dan perhatian padaku.
Padahal, aku sempat hampir menikah dengan orang lain. Ternyata Allah
sayang padaku. Allah menunjukkan, wanita yang nyaris kunikahi itu bukan
untukku. Pipik bagai bidadari yang datang dengan cinta yang besar. Ia
memberi keyakinan, menikah dengannya akan membawa perubahan besar dalam
hidupku.
Aku mendatangi Umi dan
minta izin untuk menikah. Luar biasa, Umi tetap menerimaku dengan segala
kasih sayangnya. Sambil menangis, Umi mengizinkanku menikah. Aku
sendiri terbilang nekat. Sebab, waktu itu aku tak punya-apa. Badan pun
kurus kering, dengan mata belok, dan penyakit paranoid yang kuderita tak
kunjung sembuh. Bahkan, pekerjaan pun aku tak punya.
Untuk
menghindari maksiat, kami menikah di bawah tangan pada tahun 1999.
Teman-temanku yang sekarang sudah meninggal karena over dosis, sempat
menghadiri pernikahanku. Setelah itu, kami tinggal di rumah Umi. Sekitar
4 – 5 bulan setelah itu, kami menikah secara resmi di Semarang.
Namun,
menikah rupanya tak cukup menghentikan kebandelanku. Istriku pun
merasakan getahnya. Aku pernah memakai narkoba di depannya, dan
menggunakan uangnya untuk membeli barang haram tersebut.
Kesulitan
lain, aku dan Pipik sama-sama menganggur. Pernah kami mencoba berdagang
kue. Malam hari kami menggoreng kacang, esok paginya bikin kue isi
kacang dan susu. Lalu kami titipkan ke toko kue.
Tapi
mungkin rezeki kami bukan di situ. Kue yang kami buat hanya laku
beberapa buah. Dalam sehari kami hanya membawa pulang Rp 200 – 300.
Akhirnya kami berhenti berjualan kue. Kehidupan kami selanjutnya kami
jalani dengan penuh perjuangan sekaligus kesabaran.
MAKAN SEPIRING BERDUA
(Kesetiaan
Pipik begitu luar biasa. Simak penuturannya berikut ini. Perasaan
sayang yang sangat kuat membuatku mantap menikah dengannya. Aku tak
peduli lagi meski dia pecandu, bahkan pernah mengalami over dosis dan
hampir gila karena paranoidnya. Aku banyak mengalami hal-hal luar biasa
dengannya. Kalau tidak sabar, mungkin aku sudah tidak bersamanya lagi.
Awal
menikah, kami tinggal di rumah Umi. Meski hidup seadanya, beliaulah
yang membiayai hidup kami. Aku dan Jeffry tak jarang makan sepiring
berdua, karena memang benar-benar tak ada yang bisa dimakan. Berat
rasanya jadi istri dari suami penganggur, apalagi setelah menikah aku
tidak lagi bekerja.
Tapi aku
yakin, Allah tidak mungkin memberikan cobaan pada umat-Nya melebihi
kemampuannya. Aku yakin, pasti ada sesuatu yang akan diberikan Allah
padaku. Beruntung, Umi sangat sayang padaku.
Aku
sendiri tak jera memberi masukan padanya untuk mengubah hidup. Kami
sama-sama saling belajar menerima kelebihan dan kekurangan satu sama
lain. Pelan-pelan, hidupnya mulai berubah menjadi lebih baik, terutama
setelah aku hamil. Mungkin dia sendiri sudah capek dengan kehidupannya
yang seperti itu.)
HIDUP DI JALAN ALLAH
Pelan-pelan,
aku kembali dekat pada agama. Perubahan besar terjadi dalam hidupku
pada tahun 2000. Kala itu, Fathul Hayat, kakak keduaku yang setengah
tahun silam meninggal karena kanker otak, memintaku menggantikannya
memberi khotbah Jumat di Mangga Dua. Pada waktu bersamaan, dia diminta
menjadi imam besar di Singapura.
Fathul
memang seorang pendakwah. Selama dia di Singapura, semua jadwal
ceramahnya diberikan padaku. Pertama kali ceramah, aku mendapat honor Rp
35 ribu. Uang dalam amplop itu kuserahkan pada Pipik. Kukatakan
padanya, ini uang halal pertama yang bisa kuberikan padanya. Kami
berpelukan sambil bertangisan.
Selanjutnya,
kakakku memintaku untuk mulai menjadi ustaz. Inilah jalan hidup yang
kemudian kupilih. Betapa indah hidup di jalan Allah. Aku mulai
berceramah dan diundang ke acara seminar narkoba di berbagai tempat.
Namun, perjuanganku tak semudah membalik telapak tangan. Tak semua orang
mau mendengarkan ceramahku karena aku mantan pemakai narkoba. Tapi aku
mencoba sabar.
Alhamdulillah,
makin lama ceramahku makin bisa diterima banyak orang. Bahkan sekarang,
aku banyak diundang untuk ceramah di mana-mana, termasuk di luar kota
dan stasiun teve. Aku bersyukur bisa diterima semua kalangan. Aku pun
ingin berdakwah untuk siapa saja. Aku ingin punya majelis taklim yang
jemaahnya waria. Mereka, kan, juga punya hak untuk mendapatkan dakwah.
Kebahagiaan
kami bertambah ketika tahun 2000 itu, lahir anak pertama kami, Adiba
Kanza Az-Zahra. Dua tahun kemudian, anak kedua Mohammad Abidzan Algifari
juga hadir di tengah kami. Mereka, juga istriku, adalah inspirasi dan
kekuatan dakwahku. Kehidupan kami makin lengkap rasanya.
MENINGGALNYA UZTAD JEFRI
Jakarta
- Ustad Jeffry Al-Buchory atau Uje meninggal dunia tak lama setelah
berulang tahun ke-40 pada 12 April 2013. Uje yang sempat juga menjadi
pemain sinetron ini sering bercerita tentang masa mudanya yang sempat
terjerumus di dunia malam hingga narkoba. Lika-liku hidupnya ini sering
dijadikannya sebagai bahan motivasi bagi jamaahnya bahwa tidak ada kata
terlambat untuk bertobat.
Uje
terkenal di kalangan kawula muda dan populer dengan sebutan 'ustad
gaul'. Suaranya yang tinggi melengking dan merdu melantunkan ayat
Alquran maupun lagu-lagu rohani, menambah daya tariknya. Model baju yang
biasa dikenakannya pernah menjadi ikon model pakaian dengan sebutan
"baju koko Uje".
Sebagai orang
muda, Uje juga menggemari hobi khas anak muda, yaitu naik motor.
Kegemaran ini pulalah yang mengantarkannya kembali kepada Yang Maha
Penyayang lewat kecelakaan tunggal saat dia mengendarai moge Kawasaki
650 cc tipe ER 6 N.
Berikut kronologi kecelakaan Uje berdasar keterangan keluarga, polisi dan RS:
Kamis 25 April 2013 pukul 23.00 WIB
Uje
ditemani adiknya, Fajar Sidiq, ngopi di sebuah kafe di Kemang. Uje yang
memang hobi naik motor mengaku ingin 'cari angin' karena sudah lama
tidak keluar rumah. Di kafe itu, Uje bertemu teman-temannya dan membahas
kegiatan di bulan Ramadan dan rencana syuting di Arab Saudi bulan Mei.
Setelah
pertemuan berakhir, Uje dan adiknya pulang dengan membawa kendaraan
masing-masing. Ketika sampai di Jl Radio Dalam, Uje mengalami kecelakaan
kecil. Fajar menawarkan diri untuk meng-handle kendaraan Uje, tapi Uje
mengaku sehat. Mereka kemudian berpisah menuju rumah masing-masing.
Jumat 26 April pukul 01.00 WIB
Uje
menabrak trotoar dan pohon palem di depan rumah di Jl Gedung Hijau 17,
Pondok Indah, Jakarta Selatan. Adik Uje lantas menuju TKP. Dia mencegat
taksi dan membawa Uje ke RS Pondok Indah yang merupakan RS terdekat.
Pukul 01.30 WIB
RS Pondok Indah menyatakan Uje meninggal dunia. Uje kemudian dibawa ke RS Fatmawati untuk divisum.
Pukul 02.00 WIB
Informasi meninggalnya Uje menyebar, termasuk di media sosial.
Pukul 03.30-03.50 WIB
Uje
divisum di RS Fatmawati. Petugas RS menyatakan Uje meninggal karena
luka luar. Jenazah lantas dibawa ke rumah duka di Rempoa, Tangerang.
Uje
akan dibawa ke Masjid Istiqlal untuk disalatkan dan dimakamkan usai
salat Jumat di TPU Karet Tengsin. Ribuan pelayat hingga kini silih
berganti berdatangan ke rumah duka. Almarhum meninggalkan seorang istri
dan 4 anak.